Minggu, 21 Februari 2010

Si Kecil Kesengsem Gurunya?

Duh, kesalnya, meski mulut kita sudah berbusa meminta si kecil untuk membereskan mainannya, ia tak juga mengindahkannya. Eh, sekalinya patuh, ia bisa-bisanya berkata, "Oke, aku beresin. Soalnya kata pak guru, kalau habis main, semuanya harus dibalikin ke tempat semula."

Lho, bukankah kita juga bilang begitu selama ini? Apakah anak-anak sekecil ini pun sudah menganut paham, yang penting bukan apa yang dibicarakan tapi siapa yang berbicara?

Guru dan dokter
Guru dan dokter merupakan figur istimewa bagi anak-anak. Di usia 3-5 tahun, si kecil sudah bisa menilai kepandaian seseorang. Guru yang kerap mengajarinya banyak hal: bernyanyi, mewarnai, berbicara bahasa Inggris, hingga olahraga, masuk kategori pandai. Demikian pula dengan dokter yang mampu mengobatinya kala sakit. Lantaran guru dan dokter adalah orang pandai, ia akan sangat percaya dengan apa yang dikatakan mereka.

Jangan lupa, kebiasaan kita mengutip ucapan guru atau dokter juga menguatkan persepsi anak bahwa sosok guru dan dokter merupakan orang-orang yang bisa dipercaya dan dipatuhi. "Ayo, makan. Dokter kan bilang kamu harus banyak makan supaya cepat besar!" Atau, "Ingat apa yang dibilang bu guru? Sebelum berangkat sekolah kamu harus sarapan!"

Cara kita melarang tanpa alasan jelas dengan gaya yang membuat anak tersudut dan merasa tidak dihargai akan membangun kesan negatif pada diri anak.

Sosok idola
Masih ada beberapa alasan mengapa anak lebih percaya dan patuh terhadap guru atau dokter, seperti:

Lebih sabar
Selain mengetahui guru dan dokter adalah orang-orang pandai, anak pun kerap terkagum-kagum akan perilaku mereka yang penyabar, penuh senyum, penyayang, dan kerap membantu orang yang sedang membutuhkan. Kekaguman itu akan membuat anak mengidolakan mereka.

Dibandingkan kita yang kerap kehilangan kesabaran saat menasihati mereka, guru atau dokter biasanya menyampaikan sesuatu dengan cara yang sangat bersahabat, yang membuat anak merasa nyaman. Pada gilirannya, rasa nyaman ini menumbuhkan kedekatan anak dengan figur tersebut.

Rasa takut
Namun tak hanya pengidolaan, ketakutan pun bisa menjadi penyebab kepatuhan anak pada kata-kata guru atau dokter. Kita lah yang terkadang membangun persepsi yang menakutkan pada kedua profesi itu. "Kalau tidak mau makan nanti dimarahi bu guru, lho!" Atau, "Kamu mau disuntik dokter atau makan?"

Kata-kata yang berlebihan itu tentu dapat membuat anak-anak prasekolah bergidik. Kalau sikap guru atau dokter yang ditemuinya memang dingin dan kaku, atau anak pernah mengalami pengalaman buruk (misal, kesakitan kala disuntik) akan semakin mengukuhkan ketakutan anak.

Pendekatan berbeda
Pendekatan guru atau dokter kepada anak umumnya akan berbeda dengan orangtua. Profesionalitas akan mendorong guru atau dokter mencari cara agar pendekatan yang dilakukan pada seorang anak bisa berhasil (dalam arti anak merasa nyaman dan mau mengikuti keinginan mereka). Apabila pendekatan yang dilakukan orangtua amat bertolak belakang (misal orangtua kerap tidak sabar, kata-katanya tak lembut, terkesan memerintah dengan ekspresi marah) maka "kebanting lah" sosok orangtua.

Ingat, kemampuan anak-anak prasekolah sudah berkembang. Tanpa perlu diperintah, ia sebenarnya tahu kalau ia harus mandi, harus makan, harus cuci tangan, dan sebagainya. Ketika orangtua memerintah layaknya seorang raja, makan anak kerap tak patuh.

Narasumber: Natris Indriyani, Psi, dari Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

RANCANGAN TUHAN

Ayat : Yeremia 29:11-13
29:11 Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.
29:12 Dan apabila kamu berseru dan datang untuk berdoa kepada-Ku, maka Aku akan mendengarkan kamu;
Firman Tuhan ini turun kepada nabi Yeremia di Yerusalem bagi orang-orang Israel yang dibawa raja Nebukadnezar ke Babilonia. Masa ini sering disebut sebagai masa pembuangan, yang oleh Tuhan ditetapkan berlangsung selama 70 tahun. Selama pembuangan Allah berjanji tetap mendengarkan dan memberkati mereka (ayat 12-13). Meskipun mengalami penderitaan dan hinaan yang hebat mereka tidak akan ditinggalkan sendirian oleh Tuhan, apabila mereka mau berseru dan mencari Dia.
Bagaimana dengan kita? saat menghadapi kesusahan yang dalam, kesulitan hidup, penyakit yang tak kunjung sembuh, kegagalan, kecelakaan, ataupun saat doa kita tak kunjung dijawab oleh Tuhan, seringkali dengan mudah kita menyalahkan Tuhan sambil bertanya : “kenapa ini terjadi dalam hidupku? Apa salah dan dosaku?” kita harus menyadari bahwa itu bukanlah sikap yang produktif. Sama sekali tidak membangun, namun melemahkan iman dan semangat. Pertanyaan yang produktif adalah: “apakah rencana Tuhan di balik semua peristiwa ini? Apakah kehendak Tuhan bagiku?”
Ya, sebab tidak mungkin Tuhan mengizinkan sesuatu terjadi atas hidup kita bagi tujuan yang buruk dan jahat. Tuhan pasti sedang merencanakan sesuatu yang indah bagi kita, hanya tunggulah waktu Tuhan dalam menggenapi rencananya. Rancangan Tuhan bukanlah rancangan yang membawa kecelakaan, namun yang menhasilkan kebaikan, kebahagiaan dan damai sejahtera.
Apapun persoalan dan masalah yang anda hadapi hari ini, jangan sampai melemahkan semangat dan iman anda kepada Allah. Jangan pula mencari-cari kesalahan orang lain sebagai ‘kambing hitam’ atas peristiwa yang sedang kita alami. Tunggu dan lihatlah bagaimana Tuhan menggenapi rencanaNya yang ajaib atas hidup saudara dan saya.

Masalahnya bukan pada Allah yang terlalu lambat menggenapi rencanaNya, namun pada kita yang selalu tidak menyadari kebahagiaan dibalik suatu peristiwa

TEOLOGIA LIBERAL Oleh. Pdt. Mangapul Sagala

Pada sebuah acara pembinaan, dengan kebingungan seorang mempertanyakan pandangan seorang pendeta yang menuliskan bahwa “Yesus tidak benar-benar bangkit secara tubuh, kebangkitan Yesus hanya merupakan sebuah metafora atau kiasan, tulang belulang Yesus ditemukan di sebuah makam di Talpiot”. Dengan sikap yang sama, peserta lain menunjukkan sebuah VCD yang berisi hal-hal yang bertentangan dengan apa yang diajarkan Alkitab. Lalu dengan nada yang lugu peserta pembinaan tersebut bertanya: “Apakah pendeta seperti itu yang dimaksud dengan teolog liberal? Apakah yang dimaksud dengan teologia liberal itu?”

Sebenarnya sulit mendefenisikan dengan tepat apa dan bagaimana teologia liberal. Mengapa? Karena kita tidak sedang berhadapan dengan a liberal theology, tetapi liberal theologies yang beraneka ragam. Namun demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa Liberalisme, sebagaimana nama aliran tsb, adalah sebuah paham yang memiliki kebebasan berteologia, tanpa batasan dan hambatan dari pihak manapun, termasuk dari pandangan tradisional yang telah dianut oleh Gereja pada umumnya. Paham ini seringkali memberikan pandangan atau pernyataan yang bersifat radikal, yang tidak biasa didengar oleh jemaat pada umumnya. Karena itu, bisa dipahami bila ada anggota jemaat yang bingung atau bahkan tergoncang imannya mendengar pandangan teolog liberal tsb. Kaum awam akan beranggapan seolah-olah sikap dan pandangan seperti itu merupakan hal yang baru muncul. Padahal, sesungguhnya tidaklah demikian. Mereka yang belajar teologia secara formal mengetahui bahwa sikap yang sama telah dimunculkan lebih dari dua ratus tahun yang lalu.

Masalah otoritas memang menjadi satu pergumulan yang terus menerus dialami oleh Gereja Tuhan. Apakah yang menjadi ukuran atau penentu sebuah ajaran atau keputusan? Iman atau rasio? Kebenaran yang ditegaskan Alkitab atau yang lain, seperti ilmu pengetahuan? Dalam pergumulan yang demikian, sejarah Gereja telah menunjukkan bahwa Gereja Tuhan di sepanjang segala abad dan tempat telah menjadikan Alkitab memiliki peran yang sangat penting. Sehubungan dengan itu, pada abad ke-16, Martin Luther dan tokoh reformasi lainnya menyerukan otoritas Alkitab sebagai satu-satunya otoritas tertinggi bagi iman, keselamatan dan menjadi dasar dari seluruh doktrin Kristen. Itulah sebabnya, Martin Luther mengeluarkan satu istilah yang sangat terkenal, yaitu, Sola Scriptura. Hanya Alkitab. Kita juga mengenal istilah lain yang menunjukkan penerimaan yang tinggi kepada Alkitab, yaitu kanon Alkitab. Dengan demikian, Alkitab menjadi semacam alat pengukur, di mana segala etika dan doktrin diukur dari pengajaran Alkitab. Pada era tersebut, sikap beriman sangat menonjol. Iman menjadi semacam komandan dan rasio manusia menjadi prajurit yang setia mengikutinya. Hal ini yang pernah ditegaskan oleh bapak Gereja, Augustinus dua belas abad sebelumnya: Faith leads to understanding. Iman menuntun kepada pengertian. Penulis kitab Ibrani juga menegaskan hal yang sama: “Karena iman kita mengerti...” (Ibr.11:3). Betapa pentingnya peranan iman tersebut, sebagaimana ditegaskan selanjutnya: “Tanpa iman, tidak mungkin orang berkenan kepada Allah” (Ibr.11:6).

Ketika rasio manusia menjadi segalanya.

Pada abad 16, Rene Descartes, seorang filsuf Perancis, yang dikenal sebagai bapak filsuf modern menyatakan satu kalimat yang sangat terkenal: “cogito ergo sum” (Saya berpikir, karena itu saya ada). Kelihatannya, beberapa abad kemudian, semangat seperti itu mempengaruhi pemikiran orang-orang tertentu di Eropah, di mana terjadi kecenderungan yang menjadikan rasio – dan bukan iman- menjadi dasar untuk memutuskan sesuatu. Seiring dengan masa pencerahan (enlightenment) rasio manusia begitu ditinggikan lebih dari sepatutnya. Sebagai akibatnya, pernyataan-pernyataan Alkitab yang telah diterima selama berabad-abad dipertanyakan, diragukan dan ditolak. Gerakan inilah yang disebut dengan Liberalisme.

Gerakan Liberalisme dikaitkan dengan Sekolah Teologi Tubingen, Jerman dengan tokoh-tokoh penting, antara lain, Ferdinand Christian Baur, David F. Strauss, Albert Ritschl, dan Julius Wellhausen. Sebagaimana telah disebutkan di atas, gerakan ini meninggalkan pandangan atau ajaran yang telah dipegang oleh Gereja pada umumnya selama berabad-abad. Dengan perkataan lain, aliran Liberal menolak otoritas Alkitab dan sangat bersikap skeptis terhadap ajaran Kekristenan yang bersifat supra natural, atau anti mukjizat.

David Strauss (1808-1874) yang pernah menjadi murid F.C. Baur menerbitkan bukunya yang sangat terkenal, yaitu The Life of Jesus. Critically Examined. Sejak munculnya buku tersebut, bangkitlah apa yang disebut dengan penyelidikan Alkitab yang bersifat historis-kritis. Sebagai hasilnya, Strauss tidak mengakui adanya mukjizat ilahi. Karena itu, dia berpendapat bahwa setiap mukjizat di dalam Perjanjian Baru tidak otentik, di mana hal itu dianggap sebagai rekayasa Gereja mula-mula. Jikalau tokoh reformasi mengakui otoritas Alkitab dan menyerukan Sola Scriptura, tidak demikian dengan Strauss dan teolog liberal lainnya. Bagi Strauss, Alkitab tidak lebih dari sekedar fiksi, di mana penulis-penulis berusaha meninggikan Yesus sebagai Mesis. Pandangan David Strauss yang sedemikian radikal membuatnya dikeluarkan dari Seminary, tempat dia mengajar. Ternyata, teolog liberal tidak sebebas namanya. Kita memang perlu terus menerus belajar menghayati kebebasan yang kita miliki. Sesungguhnya, tidak pernah ada kebebasan mutlak, tanpa batas.-

Sabtu, 20 Februari 2010

PUASA & DERMA: DISIPLIN SPIRITUALITAS GEREJA Oleh Pdt. Rasid Rachman, M.Th.

1. Etimologi dan tujuan

Kata “puasa” berasal dari dua kata Sansekerta, yaitu: “upa” dan “wasa.” Upa adalah semacam prefiks yang berarti dekat. Wasa berarti Yang Maha Kuasa (seperti umat Hindu di Indonesia menyebut Sang Hyang Widhi Wasa). Jadi “upawasa”, atau yang kemudian dilafalkan sebagai puasa, tidak lain daripada cara mendekatkan diri kepada Tuhan. Sebagai cara untuk mendekatkan diri pada Tuhan, puasa adalah pelatihan mental yang bertujuan mengubah sikap dan kejiwaan manusia. Dengan demikian, puasa – terutama dalam agama Hindu – dipahami sebagai sarana, cara, atau metode untuk mencapai sesuatu. Dalam hal ini, sesuatu yang ingin dicapai itu adalah pembaruan sikap. Oleh karenanya, puasa adalah sakral, karena dihubungkan dengan niat mendekatkan diri kepada Tuhan. Puasa dapat dijalankan oleh lembaga, komunitas, atau individu. Berdasarkan pengertiannya, puasa tidak bertujuan pada dirinya, ber-“diet”, atau demi kesehatan, melainkan bertujuan untuk membarui sikap iman melalui pelatihan spiritualitas.

2. Puasa dalam Perjanjian Lama

Orang Israel dalam Perjanjian Lama telah mengenal praktek berpuasa sejak lama. Secara umum puasa berasal dari kata “tşŭm” (berpuasa) “tşŏm” (puasa) atau “ānna nafsyô” (menekan hawa nafsu). Berpuasa menurut pengertian tersebut dijalankan dengan cara berhenti atau mengurangi makan (dan kadang-kadang juga minum) selama beberapa saat dalam rangka perendahan diri secara khidmat kepada Allah.

Perendahan diri tersebut dilakukan dalam rangka berbagai hal. Misalnya, sebagai tanda penyesalan dan pendamaian kepada Allah dari kesalahan manusia. Dilukiskan bahwa Israel di zaman Samuel melihat kebesaran TUHAN, kemudian menyesali penyembahan mereka kepada Baal dan ingin berdamai dengan TUHAN. Mereka menimba air, mencurahkannya, dan berpuasa selama sehari di Mizpa (1 Samuel 7:4-6). Mizpa adalah tempat ratap tangis dan pemerintahan Allah (1 Sam 7:16). Sesuai suatu ritus Israel kuno, menimba dan mencurahkan air merupakan tanda pertobatan dan penyesalan. Hal yang sama kita jumpai dalam ritus baptisan Kristen. Raja Ahab berpuasa oleh karena penyesalannya atas perbuatan jahatnya dan ingin berdamai dengan TUHAN (1Raj 21:27). Daniel menyesali kehancuran Yerusalem karena dosa, dan ia berdoa, berpuasa, dan mengenakan kain kabung serta abu (Dan 9:3). Yoel mengajak Israel berpuasa sebagai tanda pertobatan. Atau juga sebagai tanda pernyataan duka cita. Dalam rangka kematian Saul dan anak-anaknya serta pasukan tentaranya, umat Israel berpuasa selama tujuh hari (1 Sam 31:13). Mereka berpuasa dan meratap sehari penuh, dengan lebih dahulu mengoyakkan pakaian (2 Sam 1:12).

Atau pun sebagai alat perjuangan. Raja Daud berpuasa berpuasa karena memperjuangkan kehidupan bagi anaknya, yang lahir dari perselingkuhannya dengan Batsyeba. Setelah anak itu mati, Daud justru makan minum dengan alasan “selagi anak itu hidup, aku berpuasa dan menangis, karena pikirku: siapa tahu TUHAN mengasihani aku. Tetapi sekarang ia sudah mati, mengapa aku harus berpuasa?” (2 Sam 12:16,20-23). Ester, dayang-dayangnya, dan semua orang Yahudi di Susan-Persia berpuasa selama tiga malam (Est 4:15-17). Kisah Ester ini menjadi latar belakang munculnya hari raya Purim atau Pesta Undi yang dirayakan oleh umat Yahudi pada tanggal 14-15 Adar, yakni bulan terakhir kalender Yahudi (sekitar Februari – Maret).

Puasa juga dilakukan dalam rangka merencanakan kemenangan melalui perang. Israel menangis dan berpuasa seharian di salah satu pusat ibadah: Betel, di mana terdapat tabut perjanjian (Hak 20:26-30). Yosafat mengajak Yehuda berpuasa (2 Taw 20:3). Besar kemungkinan ritus berpuasa ini dilakukan di dalam liturgi.

Juga sebagai persiapan menyambut penyataan TUHAN. Musa berpuasa di gunung Sinai ketika menuliskan perkataan perjanjian TUHAN di loh batu (Kel 34:28; Ul 9:9). Daniel berpuasa sebagai persiapan bagi suatu penglihatan. Ia mengurangi makan enak, daging, dan minum anggur selama tiga pekan (Dan 10:3). Puasa ini tampak mirip dengan puasa persiapan Paska.

Sebagai suatu persiapan untuk pertobatan dan perdamaian, puasa dilakukan menjelang hari raya pendamaian (“yom Kippur”) pada tanggal 10 Tishri. Puasa di sini diikuti dengan berpantang secara keras sejak tanggal 1 Tishri (Tahun Baru Yahudi) sampai tanggal 10.

Puasa dilakukan sebagai sarana untuk mengenang kejatuhan Yerusalem dan pemulihan TUHAN atas Israel, seperti dalam Zakharia 7 – 8, yaitu berpuasa pada:

* Bulan Tammuz, yakni bulan ke-4 (8:19). Tanggal 9 Ab (bulan ke-5) pada hari Duka Nasional (7:3; 8:19). Dalam perjalanan sejarahnya, pengenangan ini meluas hingga merambah ke peristiwa-peristiwa hancurnya Bait Allah dan penderitaan orang Yahudi di seluruh dunia akibat rongrongan kaum anti-semit, yaitu: penghancuran Bait Allah pertama tahun 586 s.M, penghancuran Bait Allah kedua tahun 70 M, pembantaian orang Yahudi oleh Romawi tahun 135 M, dan pengusiran orang Yahudi dari Spanyol tahun 1492.

* Tanggal 1-10 Tishri, menjelang yom Kippur.

* Bulan Kislew, pada tanggal 25, sebagai perayaan Hanukkah (8:19). Semula adalah bencana nasional, kemudian menjadi peringatan hari kegirangan dan penuh suka cita.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa fungsi puasa dalam Perjanjian Lama tidak melulu sebagai sarana, cara, atau metode (terutama untuk mencapai kesempurnaan). Fungsi puasa juga sebagai tanda, simbol, persiapan, pengudusan diri, dan tekad di dalam memperjuangkan sesuatu.

Puasa seringkali dilakukan secara komunal di dalam liturgi dan bersifat suka rela. Sekalipun cara berpuasa hanya dihubungkan dengan makanan dan minuman, tetapi seringkali berpuasa diikuti dengan pantangan-pantangan. Berpantang tidak hanya menyangkut soal makan dan minum. Berpantang juga dilakukan dengan mengerjakan sesuatu sebagai tanda, misalnya: penyesalan.

Israel berpantang dengan menangis dan mempersembahkan kurban (Hak 20:26). Ahab berpantang dengan mengenakan kain kabung dan abu (1Raj 21:27). Israel berpantang dengan menangis dan mengaduh (Yl 2:12).

Dari sekian banyak praktek dan maksud berpuasa, beberapa saja yang menjadi ritus di dalam liturgi komunal, yaitu: Hari raya Pendamaian (10 Tishri). Imamat 23:27, “kamu harus mengadakan pertemuan kudus dan harus merendahkan diri dengan berpuasa dan mempersembahkan kurban api-apian kepada TUHAN.” Peraturan ini diiringi dengan perintah berpantang: tidak melakukan pekerjaan apa pun (Im 23:28; Bil 29:7). Itulah hari perhentian (“Sabbath”) bagi TUHAN.

Dalam rangka perkumpulan raya untuk ratap tangis dan ucapan syukur, umat Israel di seluruh negeri berpuasa sambil menangis dan meratap, menggundulkan kepala dan melilitkan kain kabung (Yes 22:12; Yl 1:14). Perayaan ini dipimpin oleh para Imam dan tua-tua Israel. Pada hari itu, umat Israel tidak makan, menjauhkan diri dari kesenangan dan urusan pribadi (Yes 58:3), menanggalkan pakaian, tidak berkasut, berkain kabung (Yes 32:11; Mi 1:8; Yl 1:16), tidak memakai perhiasan tubuh (Yes 15:2; Mi 1:14), menoreh-noreh kulit badan (Hos 7:14; Mi 4:14), berguling-guling dalam debu (Mzm 44:26; Mi 1:10), dan menaruh tanah atau debu di kepala (Neh 9:1). Seluruh umat menangis dan meratap menyesali dosa, serta menyatakan pertobatan untuk kembali setia dan taat kepada TUHAN. Salah satu ratap tangis mereka adalah sebagai berikut: “Sayangilah, ya TUHAN, umat-Mu, dan janganlah milik-Mu sendiri menjadi cela, sehingga bangsa-bangsa menyindir kepada mereka: di manakah Allah mereka?” (Yl 2:17).

Unsur yang sangat penting dalam liturgi ini adalah umat menunggu orakel imam untuk menyampaikan jawaban TUHAN atas permohonan mereka. Segera setelah mereka mendengar orakel imam yang menyatakan bahwa seruan mereka telah didengar-Nya (bnd Hak 20:30, jawaban YHWH atas seruan Israel), maka mereka bersuka ria dan bersuka cita. mereka menimba air dengan kegirangan dari mata air keselamatan (Yes 12:3).

3. Puasa dalam Perjanjian Baru

Tidak seperti dalam Perjanjian Lama yang lebih mengulas praktek berpuasa, puasa di dalam Perjanjian Baru mulai dipersoalkan penggunaannya. Puasa dalam bahasa Yunani ialah “nēsteuō” (tidak makan), atau dari “asistos” atau “asitia.” Arti kata yang kedua lebih menjelaskan arti berpuasa sebagai keadaan terpaksa tidak makan (Kis 27:21). Sedangkan kata yang pertama menjelaskan disiplin berpuasa sebagai suatu ibadah. Yesus berpuasa (“nesteusas”) selama empat puluh hari siang dan malam (Mat 4:1-11). Ketiga jawaban Yesus dalam melawan Iblis menggambarkan hal ketergantungan manusia hanya kepada Allah. Yaitu: 1) “Manusia hidup bukan dari roti saja (atau: manusia tidak akan hidup hanya dari roti saja), tetapi dari setiap firman Allah”; 2) “Janganlah engkau mencobai Tuhan, Allahmu”; 3) “Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu.” Hanya orang yang merasa laparlah yang bergantung pada Allah. Di dalam ketergantungan kepada Allah, manusia mengendalikan dirinya.

Di samping itu, rupanya ada kelompok manusia yang menyalahgunakan puasa (Mat 6:16). Yesus menyinggung hal berpuasa, “Apabila kamu berpuasa janganlah muram mukamu seperti orang munafik (maksudnya adalah seperti orang-orang Farisi), supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Penulis Matius merujuk pada praktek berpuasa yang dilakukan secara salah sebagaimana tertulis di dalam kitab Nabi-nabi.

4. Berpuasa dalam naskah patristik

Hakikat berpuasa dalam Alkitab tidak sama 100% dengan berpuasa dan berpantang dalam sejarah gereja. Ada beberapa hal yang tidak dilakukan oleh gereja dan ada beberapa hal tidak ada dalam tradisi Yahudi. Ada bukti naskah-naskah bahwa berpuasa telah dipraktekkan oleh gereja – terutama kaum asketik – sejak awal sekali. Dalam Didakhe 7 (± 120 – 150) dinyatakan, “sebelum pembaptisan, orang yang membaptis dan orang yang akan dibaptis harus berpuasa, dan orang lain pun boleh semampunya. Dan kamu harus mengatakan kepada calon baptis untuk berpuasa selama satu atau dua hari sebelum pembaptisan.” Dalam tradisi, pembaptisan dan perjamuan kudus dilaksanakan pada hari Minggu Paska. Jadi, puasa calon baptis dilakukan pada Jumat dan Sabtu dalam masa raya Paska. Sejak abad ke-2 dan ke-3, kebiasaan berpuasa ini diperluas menjadi hari-hari tertentu yang ditetapkan sebagai hari puasa. Hingga kini, berpuasa sebelum perjamuan kudus pada hari Minggu masih menjadi kebiasaan kebanyakan orang Kristen.

5. Puasa dan derma

Salah satu tujuan atau hikmat berpuasa yang belum dimunculkan pada zaman Alkitab, adalah praktek berpuasa yang diikuti dengan berderma. Seorang filsuf dan apologet, Aristides dari Athena (± 140), dalam Apologia-nya – ketika berbicara tentang sikap hidup orang Kristen di antara bangsa-bangsa bukan-Kristen – menulis antara lain, “Jikalau terdapat orang miskin atau orang berkekurangan di antara mereka (maksudnya: orang asing atau orang Kristen), dan jika mereka (maksudnya: orang Kristen itu) tidak mempunyai makanan lebih sama sekali, maka mereka berpuasa selama dua-tiga hari agar dapat memberikan makanannya kepada yang membutuhkannya.” Apakah benar ajaran Aristides ini dilakukan secara demikian oleh orang-orang Kristen pada abad ke-2 itu, memang tidak ada bukti. Namun uraian ini dapat menjadi salah satu tolok ukur tentang sikap dermawan dan perhatian sosial dari berpuasa. Kaum asketik memberlakukannya. Antonius dan Benediktus memperhatikan persoalan ini sebagai ajaran hidup monastik. Hanya, dari Aristides kita dapat merujuk dan melihatnya secara luas kepada kitab Nabi-nabi. Para Nabi (Yes 58:3-7; Yer 14:12; Za 7:5) mengecam orang yang salah dalam berpuasa. Berpuasa bukan tujuan, melainkan sarana untuk “membuka belenggu-belenggu kelaliman, melepaskan tali-tali kuk, memerdekakan orang yang teraniaya, membagikan rotimu kepada yang lapar” (Yes 58:3-7).

Pada masa kini, hal berderma waktu berpuasa dapat dilihat dalam gereja Roma Katolik di seluruh dunia dan umat Islam melalui zakat fitrah. Umat Katolik menetapkan hal berderma melalui berpuasa; dikenal dengan Aksi Puasa Pembangunan (APP). Antara lain diinformasikan sebagai berikut: “Puasa adalah gerakan tobat bersama yang bertujuan memurnikan kehidupan Kristiani dengan bertobat dan beramal, antara lain dengan mengumpulkan derma di Gereja-gereja dan sekolah-sekolah Katolik untuk proyek-proyek amal, sosial, dan pembangunan, ¼ dan proyek-proyek kemanusiaan di negara-negara berkembang.”

Dengan merujuk praktek tersebut, dapat dikatakan bahwa berpuasa dan berderma merupakan hakikat puasa gereja sejak awal sejarahnya.

6. Praktek berpuasa dewasa ini

Didakhe 8 menyatakan sebagai berikut: “Janganlah engkau melakukan puasamu seperti orang kafir (maksudnya: orang Yahudi). Mereka berpuasa pada Senin dan Kamis, tetapi kamu harus berpuasa pada Rabu dan Jumat.” Kedua hari tersebut dianggap berhubungan dengan peristiwa kematian Yesus, yakni ketika Yudas berkhianat untuk menjual gurunya dan hari kematian Yesus.

Gereja Timur dan beberapa tradisi kekristenan Barat tetap memberlakukan kedua hari tersebut sebagai waktu berpuasa sepanjang tahun di luar masa Prapaska. Pada masa Prapaska, lazimnya gereja memberlakukan puasa lebih intensif selama dua pekan menjelang Paska; semakin dekat pada Paska, maka berpuasa semakin intens terutama pada Jumat Agung dan Sabtu Sunyi. Pada masa Prapaska selama empat puluh hari itu diberlakukan pula kepada para calon baptis. “Angka 40 mengingatkan akan empat puluh tahun umat Israel menjelajah di gurun pasir sebelum memasuki Tanah Suci, empat puluh hari Musa berada di Gunung Sinai, dan terutama empat puluh hari lamanya Yesus berpuasa.”

Biasanya umat berpuasa pada Rabu Abu dan Jumat Agung dan berpantang makan daging atau jenis pantangan lain yang ditentukan sendiri oleh pribadi yang menjalankannya. Misalnya tidak merokok, pantang gula, pantang garam, pantang pesta, pantang hiburan, dsb. Dalam beberapa kesempatan pun, semisal: sebelum pembaptisan, sebelum perjamuan kudus, sebelum kebaktian, banyak orang Kristen berpuasa singkat. Oleh karena sifat puasa adalah suka rela dan personal, maka waktu dan bentuknya bisa tidak dimutlakkan. Namun tujuan puasa untuk berhemat dan menahan diri sangat bermanfaat bagi disiplin spiritualitas. Hasil penghematan itu dapat untuk derma. Uang untuk rokok, pesta pora, hiburan, dapat diirit dan disumbangkan kepada orang miskin dan proyek-proyek kemanusiaan.

Bagi kebanyakan gereja Protestan, praktek berpuasa sebagaimana dilakukan oleh Yesus, tidak terkalu ditekankan, apalagi diberlakukan sebagai liturgi umat. Namun gereja tidak melarang ibadah personal puasa ini, apabila dilakukan dengan suka rela. Memang pada kenyataannya, tidak sedikit orang Kristen yang melakukan puasa. Kaum injili, gereja-gereja pantekostal, kelompok kharismatik, secara terbuka mengizinkan dan menganjurkan umat mereka berpuasa. Gereja Katolik menyusun aturan berpuasa yakni: satu kali makan kenyang dan dua kali makan sedikit saja dalam sehari. Hal ini mengarahkan orang untuk berhemat dan menahan diri dari hawa nafsu. Bahkan tidak sedikit gereja-gereja ekumenikal yang juga mempermaklumkan umatnya berpuasa. Jadi berpuasa adalah ibadah personal yang lazim dilakukan oleh orang Kristen secara suka rela.

Selain sebagai disiplin penyadaran akan lemahnya diri, puasa memiliki hikmah sebagai sarana pengendalian diri dari keserakahan dan ketergantungan pada jasmani. Semuanya dilakukan dalam rangka melatih hidup keagamaan yang lebih baik. Pengendalian diri bertujuan agar gereja (atau orang yang berpuasa) tidak lepas kendali. Gereja harus mampu menahan diri dari nafsu jasmani dan keinginan daging. Itulah sebabnya puasa – baik di kalangan Kristen maupun di kalangan Islam – selalu diikuti dengan derma atau zakat, yang olehnya ibadah puasa memperoleh bobotnya dan menjadi berkat. Puasa tanpa kontrol diri atau puasa yang diikuti dengan pesta pora, dan puasa tanpa derma, adalah puasa yang tidak menjadi berkat.

Selasa, 16 Februari 2010

PANDANGAN KRISTIANI TENTANG UANG

menerobos masa ke masa, manusia mengalami kemajuan dalam bidang bertukar informasi. Terutama yang sedang kita bahas bagaimana adanya mata uang yang digunakan sebagai alat tukar di pasar. Merajuk dari berbagai persepsi pakar ekonomi,uang menjadi dewa saat setelah beberapa wwaktu lamanya ditemukan. Disini, seseorang mulai terjebak dalam situasi yang kurang menguntungkan antara untung dan rugi. Namun lebih dalam, kita hanya terpaku pada satu perspektif penjelasan yang paling baik diterapkan pada kondisi keuangan kristiani kita. Pentingnya pendidikan teologis dalam hal keuangan dapat membantu anda lebih fokus mengartikan uang menurut pandangan yang berbeda,karena peranan pendidikan ini penting yang dapat menyatakan, juga mengilhami seseorang termotivasi secara lebih yakin menjalani kehidupan kristiani, sembari tetap menganggap uang itu tidak dapat dipisahkan dari kehidupan kita, hingga ada suatu perubahan lagi. Perhatian khusus kita tujukan pada strategi keuangan kita mmenghadapi tantangan global, dengan asumsi bahwa teologis bisa membantu memecahkan masalah finansial ini lebih teratur, jelas, memiliki motivasi yang jelas tidak kabur. Kelebiha-kelebihan yang kita bicarakan adalah sebagai hasil dari diskusi panjang menegaskan pentingnya keunggulan beberapa teori berkembang memenuhi lapangan luas kehidupan manusia terkait tentang uang. Jika terus menekankan uang ini di atas prioritas kedudukannya melebihi iman kristen, akan bisa dipastikan etika kontekstual menjebak anda dalam sesuatu yang sia-sia tanpa ada pikir panjang faktor-faktor pengambilan keputusan etis. Sangat memalukan jika sebagai anak Tuhan cara pandang kita tetap pada manusia lama yang ambil andil menjerumuskan kita dalam kerajaan kedegilan manusia mencintai uang. Suatu kenaifan bila terlalu memandang sebelah mata potensi diri kita mengatur keuangan sendiri terutama yang berhubungan dengan kedislipinan pemasukkan dan pengeluaran yang dibuat sedemikian rupa. Sehingga ada manfaat yang dirasakan langsung pelaku yang taat itu. Ini adalah satu upaya mengubah gaya hidup yang boros kepada satu harapan perubahan positif terdeklarasikan melalui cara-cara brilian menghadapi kesulitan-kesulitan keuangan kita, tetap berpegang pada teologis sampai penerapan-penerapannya. Mengerti masalah, menganalisa, menyimpulkan hingga tindakan apa yang musti dilakukan menambah pemasukkan dan menekan pengeluaran seminim-minimnya tanpa menggantikan posisi pemuasan kebutuhan yang hakiki. Disini anda dan saya diajarkan intensif berpantang boros. Tertarik melalui proses bertindak secara ekonomi dan mengatasnamakan keadilan, kebenaran, sikap bertanggungjawab ini modal yang penting menghadapi situasi terdesak sekalipun tanpa uang sekalipun. Sungguh satu apresiasi yang dilantunkan menghantarkan kepergian sikap tidak taat dan disiplin pengaturan keuangan. Tetapi penjelasan di atas cukup mewakili kita tentang kelebihan juga kekurangan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bersifat lebih detail. Lepas dari pemahaman keuangan, sekarang anda dan saya akan lebih memperdalam teknis yang berkaitan memulihkan situasi finansial juga etika kita menggunakannya. Melampaui semua ini, semakin jelaslah bahwa sebagai umat Tuhan, ada unsur teologis yang tidak boleh dilupakan.

Senin, 15 Februari 2010

KEBANGKITAN HIDUP

Pada tanggal 20 Mei segenap masyarakat Indonesia memperingati dan merayakan seratus tahun kebangkitan nasional. Kebangkitan nasional dicanangkan semangatnya dengan terbentuknya organisasi pribumi pertama, yaitu Boedi Oetomo tahun 1908 oleh mahasiswa STOVIA. Terbentuknya Boedi Oetomo telah menginspirasi terbentuknya banyak organisasi kemasyarakatan menuju Indonesia merdeka.
Dalam konteks kekinian, kita para generasi muda memiliki tanggung jawab untuk melanjutkan semangat yang dibangun mahasiswa STOVIA dengan merefleksikan semangat kebangsaan dan kemajemukan di dalam kehidupan sehari-hari. Kita harus menghargai kemajemukan dan pluralitas yang ada di bangsa kita. Kebangkitan ini juga harus menginspirasi kita untuk bangkit dari keterpurukan, melepaskan diri dari lilitan permasalahan hidup. Jangan hendaknya sebagai generasi muda, kita hanya mampu mengkritik dan mendemo kebijakan pemerintah. Generasi muda hendaknya kreatif untuk mengkreasikan ide yang membangun bukan menghancurkan. Kebangkitan nasional harus dimaknai sebagai kebangkitan hidup dalam segala bidang.
Tuhan Yesus mengingatkan kita untuk menyerahkan segala beban hidup, kekuatiran, kegelisahan, ketakutan kita akan hidup ini dihadapanNya. Hal ini membuat kita tetap bisa tersenyum dalam menhadapi tantangan kehidupan. Serahkanlah seluruh kehidupanmu kepada Yesus Kristus, maka Ia akan memberikan damai sejahtera yan melampaui segala akal dan akan menjaga hati, pikiran dan hidup kita. selamat bangkit dari keterpurukan.

Minggu, 14 Februari 2010

TANGGA PERKEMBANGAN MORAL

Saya membuat ini mengacu dari tangga perkembangan dari Lawrence Kohlberg, seorang pakar pendidikan dan psikologis dari Universitas Harvard. Menurutnya orang memiliki enam tahap perkembangan pertimbangan moral.
Pertama, Orientasi pada hukuman dan kepatuhan. pada tahap ini, hukuman menjadi tolok ukur. apabila kita dihukum karena melakukan sesuatu, maka itu hal buruk, namun bila tidak dihukum maka mencuri pun kita nilai baik. kita belum mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Kedua,Orientasi pada pahala. pada tahap ini kita menilai perbuatan buruk sebagai perbuatan yang tidak menghasilkan pahala atau kesenangan tertentu. tetapi apabila ada hadiah, pujian, sanjungan maka kita berkesimpulan bahwa itu adalah hal baik, meskipun memukul teman sekelas.
Ketiga, Orientasi untuk menyenangkan orang lain. Pada tahap ini kita menilai sebuah perbuatan adalah baik apabila diterima, disenangi dan diakui oleh orang lain. untuk disebut pemberani maka kita akan memukuli orang lain.
Keempat, Orientasi pada peraturan. Pada tahap ini patokannya adalah bunyi dan ketetapan dalam peraturan. Apapun isinya dianggap pasti baik.
Kelima, Orientasi pada pendapat umum. Pada tahap ini perbuatan baik adalah kesepakatan semua anggota masyarakat. ukurannya adalah kesejahteraan, kebaikan dan kepentingan bersama.
Keenam, Orientasinya adalah penghargaan hak tiap orang. Pada tahap ini perbuatan baik adalah perbuatan yang menghormati dan menghargai hak serta martabat tiap individu, tanpa pembedaan atas dasar apapun.
Ada dalam tahap apakah kita sekarang? kiranya hati kita akan menjawabnya. dan Tuhan Yesus sudah memberikan teladan bagaimana DIA mampu mengaktualisasikan diriNya sebagai pribadi yang berbuat baik demi kepentingan masyarakat umum dan mau menghargai hak-hak serta martabat tiap individu, tanpa membedakan status. AMIN

Rabu, 10 Februari 2010

RENCANA TUHAN ALLAH

Ayat : Yeremia 29:11-13
29:11 Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.
29:12 Dan apabila kamu berseru dan datang untuk berdoa kepada-Ku, maka Aku akan mendengarkan kamu;
Firman Tuhan ini turun kepada nabi Yeremia di Yerusalem bagi orang-orang Israel yang dibawa raja Nebukadnezar ke Babilonia. Masa ini sering disebut sebagai masa pembuangan, yang oleh Tuhan ditetapkan berlangsung selama 70 tahun. Selama pembuangan Allah berjanji tetap mendengarkan dan memberkati mereka (ayat 12-13). Meskipun mengalami penderitaan dan hinaan yang hebat mereka tidak akan ditinggalkan sendirian oleh Tuhan, apabila mereka mau berseru dan mencari Dia.
Bagaimana dengan kita? saat menghadapi kesusahan yang dalam, kesulitan hidup, penyakit yang tak kunjung sembuh, kegagalan, kecelakaan, ataupun saat doa kita tak kunjung dijawab oleh Tuhan, seringkali dengan mudah kita menyalahkan Tuhan sambil bertanya : “kenapa ini terjadi dalam hidupku? Apa salah dan dosaku?” kita harus menyadari bahwa itu bukanlah sikap yang produktif. Sama sekali tidak membangun, namun melemahkan iman dan semangat. Pertanyaan yang produktif adalah: “apakah rencana Tuhan di balik semua peristiwa ini? Apakah kehendak Tuhan bagiku?”
Ya, sebab tidak mungkin Tuhan mengizinkan sesuatu terjadi atas hidup kita bagi tujuan yang buruk dan jahat. Tuhan pasti sedang merencanakan sesuatu yang indah bagi kita, hanya tunggulah waktu Tuhan dalam menggenapi rencananya. Rancangan Tuhan bukanlah rancangan yang membawa kecelakaan, namun yang menhasilkan kebaikan, kebahagiaan dan damai sejahtera.
Apapun persoalan dan masalah yang anda hadapi hari ini, jangan sampai melemahkan semangat dan iman anda kepada Allah. Jangan pula mencari-cari kesalahan orang lain sebagai ‘kambing hitam’ atas peristiwa yang sedang kita alami. Tunggu dan lihatlah bagaimana Tuhan menggenapi rencanaNya yang ajaib atas hidup saudara dan saya.

Masalahnya bukan pada Allah yang terlalu lambat menggenapi rencanaNya, namun pada kita yang selalu tidak menyadari kebahagiaan dibalik suatu peristiwa